Istana Gunung Ibul Jilid II Uzur Dimakan Usia
Bekas istana Kerajaan Gunung Sahilan (1700-1941) masih berdiri di kawasan Kampung Gunung Sahilan, Kecamatan Gunung Sahilan (Kampar Kiri) Kabupaten Kampar. Sebuah bangunan renta yang tampak uzur dimakan usia, bahkan nyaris rubuh karena tidak adanya perhatian sama sekali. Melihat kondisinya yang sangat dan sangat memprihatinkan itu, niscaya beberapa tahun ke depan situs sejarah paling bernilai tersebut akan punah-ranah.
MATAHARI menyengat kulit. Siang itu, suasana di Kampung Gunung Sahilan yang berjarak kurang lebih 60 Kilometer dari pusat Kota Bertuah Pekanbaru cukup tenang. Orang kampung agaknya enggan keluar rumah sebab tak banyak yang harus dikerjakan dalam cuaca panas bedengkang tersebut. Pemandangan di kampung di tepi Sungai Kampar Kiri itu lumayan menyejukkan dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Hanya beberapa nelayan saja terlihat berhanyut-hanyut di atas piau (sampan, red)-nya, sembari menunggu nasib baik hari itu.
Tak banyak yang ingin dilihat Riau Pos saat mengunjungi kampung tua itu. Hanya satu tujuan, yakni menyaksikan langsung bekas bangunan istana yang terbengkalai hingga puluhan tahun lamanya. Bertemankan seorang warga kampung bernama Nursyam, Riau Pos langsung menuju lokasi dimaksud. Letaknya, di kampung lama, seberang sungai. Untuk menempuhnya juga tidak susah sebab kampung itu sudah disatukan jembatan megah yang telah didirikan beberapa tahun terakhir.
“Sebelum ada jembatan ini, kita harus menyeberang sungai menggunakan rakit kayu. Tapi sekarang tidak perlu lagi sebab jembatan ini sangat membantu dan memudahkan masyarakat untuk keluar masuk kampung,” ulas Nursyam yang tengah mengendarai sepeda motor.
Hanya beberapa menit saja, dari jembatan, di simpang empat sebelum menuju kantor camat yang mendaki, Nursyam berbelok ke kanan. Hanya 500 meter dari persimpangan itu, depan alun-alun ninik mamak terlihatlah di sisi kiri dan kanannya komplek istana kerajaan, berikut istana serta makam raja-raja yang pernah memerintah. Memanglah sangat memprihatinkan kondisinya dan pemandangan serupa itu, secara spontan saja, membuat kepala orang yang melihatnya menggeleng-geleng, seakan tidak percaya. “Inilah yang disebut-sebut sebagai bekas istana kerajaan Gunung Sahilan itu. Sebaiknya, kita minta izin dulu untuk masuk dan melihat-lihat di dalamnya,” kata Nursyam sembari memarkirkan motornya di salah satu rumah warga, tepat di samping istana.
Setelah minta izin dan meminjam kunci gembok untuk masuk ke dalam istana, Nursyam dan Riau Pos langsung memasuki pekarangan istana dan berdiri sejurus mengamati pemandangan sekitarnya. Nursyam melangkah menuju pintu masuk dengan menaiki beberapa anak tangga dan langsung membuka kunci gembok sambil mempersilahkan Riau Pos masuk ke dalam. Terselip rasa ragu saat hendak memasuki istana itu, sebab raut wajah dan sorot mata Nursyam tampak menyimpan sesuatu yang enggan diungkapkannya. Lelaki asli kampung itu hanya memberikan beberapa pesan yakni jangan menyentuh perkakas yang ada, jangan asal bicara atau takabur dan terpenting jangan berlama-lama.
Berbekal rasa keingintahuan yang kuat, Riau Pos mengucap salam dan melangkah masuk ke dalam istana tersebut. Ternyata, istana berupa rumah panggung itu kosong melompong, tidak seperti bayangan sebelumnya. Tidak ada singgasana raja apalagi lainnya. Hanya ada beberapa perkakas seperti meriam kecil atau lelo (sebutan masyarakat tempatan), kendi, gong hitam, tombak, pedang, payung, tempat tidur beserta tilam di sudut ruangan. Selain itu, terdapat pula beberapa foto lama yang disangkutkan begitu saja di dinding tak bercat sama sekali.
Semakin miris dan sedihnya hati melihat kondisi luar, mencerminkan di dalamnya. Tidak disangka sama sekali, begitu buruknya pengelolaan istana tersebut. Padahal, istana itu adalah bukti nyata, bahwa kerajaan ini pernah eksis di zaman hingga Jepang masuk ke kampung itu (1941) dan membekukan sistem pemerintahan ala kerajaan. Berbeda dengan
kondisi kerajaan Siak Sri Indrapura yang sarat dengan kemewahan, meski lebih didominasi benda-benda yang diduplikat. Inilah gambaran nyata bekas istana kerajaan Gunung Sahilan yang dikabarkan mampu berdamai dengan Belanda hingga akhir pendudukannya di Indonesia. Orang tua-tua kampung menyebutnya dengan perkataan, “Belanda berpagar besi, Gunung Sahilan berpagar adat.”
Sejarah Singkat Kerajaan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.
“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Pemugaran Hanya Janji Tinggal Janji
Janji pemugaran istana Gunung Sahilan sudah didengar keturunan dan masyarakat tempatan sejak masa Soeharto menjabat sebagai Presiden RI Kedua. Hingga kini sudah bergonta-ganti presiden, gubernur dan bupati. Namun janji-janji yang diberikan semacam penyemangat belaka. Tak kunjung terealisasi hingga hari ini. Bahkan istana makin rapuh dan satu-persatu kayu-kayunya berjatuhan ke tanah. Apalagi, dalam perayaan adat dan perayaan agama, istana tetap dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan acara.
Beberapa waktu silam, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata (Budsenipar) melakukan pembangunan baru istana tepat di belakang istana asli. Sayangnya, bentuk dan motifnya sangat jauh berbeda dengan bentuk asli sehingga keturunan kerajaan menolak dan tidak mau menerimanya. Bangunan baru berbentuk masjid dengan lima kubah itu dibiarkan saja berdiri dan sesekali dimanfaatkan untuk ruang pertemuan.
“Bagaimana pula kami menerima bangunan baru itu, jelas-jelas tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Saya juga tak habis pikir, masak mereka tidak bisa meniru bentuk aslinya yang jelas-jelas ada di depannya?,” aku Tengku Rahmad Ali sembari menunjuk bangunan baru yang terletak di samping rumahnya.
Camat Gunung Sahilan yang sempat diwawancarai Riau Pos beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa renovasi istana akan dilaksanakan pemerintah dalam waktu dekat, minimal dalam anggaran APBD 2010-2011 mendatang. Sedangkan pembebasan lahan dilaksanaka dalam 2009 lalu. Pembangunan istana tersebut dari hasil sharing budget antara Pemprov Riau (pembangunan fisik istana) dan Pemkab Kampar (pembebasan lahan seluas satu hektare). Paling tidak, dalam pembebasan lahan sebanyak 8-10 rumah yang terkena, termasuk rumah Tengku Rahmad Ali. Yang terkena akan mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan harga tanah dan bangunan rumah mereka masing-masing.
“Renovasi istana dan pembangunan masjid raya Gunung Sahilan, menurut rencananya akan dimulai pada 2010 ini. Bentuknya sudah ada dan akan disepakati terlebih dahulu bersama keturunan kerajaan, ninik mamak dan pemuka masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penggalian dan Inventarisasi Bidang Sejarah Kepurbakalaan yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Darliana menjelaskan, setakat ini, khusus untuk istana Gunung Sahilan baru dalam proses studi teknis. Artinya, apakah layak atau tidak untuk direnovasi. Setelah selesai barulah bisa diajukan untuk pelaskanaannya. Untuk studi teknis arkeologi sudah diajukan pada anggaran APBD 2010 yang jatuh pada tahun ini.
Dijelaskan Darliana, studi teknis itu meliputi tentang teknologi pembuatan seperti dinding kayu, apakah menggunakan pasak atau paku. Struktur bangunan seperti apa, sejarahnya bagaimana, bentuk dan bahan yang digunakan. Selain itu, juga harus dikaji tingkat kerusakannya berapa persen yang masih bisa diselamatkan dan berapa persen harus diganti karena lapuk dan sebagainya. “Studi teknis ini harus memperkuat pemugaran situs sejarah bukan malah melemahkannya. Yang diganti nantinya harus ditandai agar terlihat yang lama dan yang baru,” katanya.
Apapun alasan dan janji yang terlanjur diungkapkan baik oleh pemprov maupun pemkab, pemugaran harus segera dilaksanakan sebelum terlambat. Pasalnya, kondisi istana semakin uzur dan rapuh. Harapan masyarakat, terutama pewaris kerajaan, entah itu namanya pemugaran atau renovasi sudah cukup lama. Namun belum juga terwujud menjadi kenyataan.
Karenanya, Tengku Arifin, Tengku Rahmad Ali, Utama Warman, bahkan Nursyam yang rela menghabiskan waktu menemani Riau Pos selama di kampung itu sangat berharap mimpi mereka menjadi nyata. Bukan seperti selama ini, mereka hanya menelan ludah saat janji-janji diumbar di depan publik. Mereka mengharap bukti, bukan janji kosong melompong seperti istana saat ini.
MATAHARI menyengat kulit. Siang itu, suasana di Kampung Gunung Sahilan yang berjarak kurang lebih 60 Kilometer dari pusat Kota Bertuah Pekanbaru cukup tenang. Orang kampung agaknya enggan keluar rumah sebab tak banyak yang harus dikerjakan dalam cuaca panas bedengkang tersebut. Pemandangan di kampung di tepi Sungai Kampar Kiri itu lumayan menyejukkan dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Hanya beberapa nelayan saja terlihat berhanyut-hanyut di atas piau (sampan, red)-nya, sembari menunggu nasib baik hari itu.
Tak banyak yang ingin dilihat Riau Pos saat mengunjungi kampung tua itu. Hanya satu tujuan, yakni menyaksikan langsung bekas bangunan istana yang terbengkalai hingga puluhan tahun lamanya. Bertemankan seorang warga kampung bernama Nursyam, Riau Pos langsung menuju lokasi dimaksud. Letaknya, di kampung lama, seberang sungai. Untuk menempuhnya juga tidak susah sebab kampung itu sudah disatukan jembatan megah yang telah didirikan beberapa tahun terakhir.
“Sebelum ada jembatan ini, kita harus menyeberang sungai menggunakan rakit kayu. Tapi sekarang tidak perlu lagi sebab jembatan ini sangat membantu dan memudahkan masyarakat untuk keluar masuk kampung,” ulas Nursyam yang tengah mengendarai sepeda motor.
Hanya beberapa menit saja, dari jembatan, di simpang empat sebelum menuju kantor camat yang mendaki, Nursyam berbelok ke kanan. Hanya 500 meter dari persimpangan itu, depan alun-alun ninik mamak terlihatlah di sisi kiri dan kanannya komplek istana kerajaan, berikut istana serta makam raja-raja yang pernah memerintah. Memanglah sangat memprihatinkan kondisinya dan pemandangan serupa itu, secara spontan saja, membuat kepala orang yang melihatnya menggeleng-geleng, seakan tidak percaya. “Inilah yang disebut-sebut sebagai bekas istana kerajaan Gunung Sahilan itu. Sebaiknya, kita minta izin dulu untuk masuk dan melihat-lihat di dalamnya,” kata Nursyam sembari memarkirkan motornya di salah satu rumah warga, tepat di samping istana.
Setelah minta izin dan meminjam kunci gembok untuk masuk ke dalam istana, Nursyam dan Riau Pos langsung memasuki pekarangan istana dan berdiri sejurus mengamati pemandangan sekitarnya. Nursyam melangkah menuju pintu masuk dengan menaiki beberapa anak tangga dan langsung membuka kunci gembok sambil mempersilahkan Riau Pos masuk ke dalam. Terselip rasa ragu saat hendak memasuki istana itu, sebab raut wajah dan sorot mata Nursyam tampak menyimpan sesuatu yang enggan diungkapkannya. Lelaki asli kampung itu hanya memberikan beberapa pesan yakni jangan menyentuh perkakas yang ada, jangan asal bicara atau takabur dan terpenting jangan berlama-lama.
Berbekal rasa keingintahuan yang kuat, Riau Pos mengucap salam dan melangkah masuk ke dalam istana tersebut. Ternyata, istana berupa rumah panggung itu kosong melompong, tidak seperti bayangan sebelumnya. Tidak ada singgasana raja apalagi lainnya. Hanya ada beberapa perkakas seperti meriam kecil atau lelo (sebutan masyarakat tempatan), kendi, gong hitam, tombak, pedang, payung, tempat tidur beserta tilam di sudut ruangan. Selain itu, terdapat pula beberapa foto lama yang disangkutkan begitu saja di dinding tak bercat sama sekali.
Semakin miris dan sedihnya hati melihat kondisi luar, mencerminkan di dalamnya. Tidak disangka sama sekali, begitu buruknya pengelolaan istana tersebut. Padahal, istana itu adalah bukti nyata, bahwa kerajaan ini pernah eksis di zaman hingga Jepang masuk ke kampung itu (1941) dan membekukan sistem pemerintahan ala kerajaan. Berbeda dengan
kondisi kerajaan Siak Sri Indrapura yang sarat dengan kemewahan, meski lebih didominasi benda-benda yang diduplikat. Inilah gambaran nyata bekas istana kerajaan Gunung Sahilan yang dikabarkan mampu berdamai dengan Belanda hingga akhir pendudukannya di Indonesia. Orang tua-tua kampung menyebutnya dengan perkataan, “Belanda berpagar besi, Gunung Sahilan berpagar adat.”
Sejarah Singkat Kerajaan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.
“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Pemugaran Hanya Janji Tinggal Janji
Janji pemugaran istana Gunung Sahilan sudah didengar keturunan dan masyarakat tempatan sejak masa Soeharto menjabat sebagai Presiden RI Kedua. Hingga kini sudah bergonta-ganti presiden, gubernur dan bupati. Namun janji-janji yang diberikan semacam penyemangat belaka. Tak kunjung terealisasi hingga hari ini. Bahkan istana makin rapuh dan satu-persatu kayu-kayunya berjatuhan ke tanah. Apalagi, dalam perayaan adat dan perayaan agama, istana tetap dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan acara.
Beberapa waktu silam, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata (Budsenipar) melakukan pembangunan baru istana tepat di belakang istana asli. Sayangnya, bentuk dan motifnya sangat jauh berbeda dengan bentuk asli sehingga keturunan kerajaan menolak dan tidak mau menerimanya. Bangunan baru berbentuk masjid dengan lima kubah itu dibiarkan saja berdiri dan sesekali dimanfaatkan untuk ruang pertemuan.
“Bagaimana pula kami menerima bangunan baru itu, jelas-jelas tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Saya juga tak habis pikir, masak mereka tidak bisa meniru bentuk aslinya yang jelas-jelas ada di depannya?,” aku Tengku Rahmad Ali sembari menunjuk bangunan baru yang terletak di samping rumahnya.
Camat Gunung Sahilan yang sempat diwawancarai Riau Pos beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa renovasi istana akan dilaksanakan pemerintah dalam waktu dekat, minimal dalam anggaran APBD 2010-2011 mendatang. Sedangkan pembebasan lahan dilaksanaka dalam 2009 lalu. Pembangunan istana tersebut dari hasil sharing budget antara Pemprov Riau (pembangunan fisik istana) dan Pemkab Kampar (pembebasan lahan seluas satu hektare). Paling tidak, dalam pembebasan lahan sebanyak 8-10 rumah yang terkena, termasuk rumah Tengku Rahmad Ali. Yang terkena akan mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan harga tanah dan bangunan rumah mereka masing-masing.
“Renovasi istana dan pembangunan masjid raya Gunung Sahilan, menurut rencananya akan dimulai pada 2010 ini. Bentuknya sudah ada dan akan disepakati terlebih dahulu bersama keturunan kerajaan, ninik mamak dan pemuka masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penggalian dan Inventarisasi Bidang Sejarah Kepurbakalaan yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Darliana menjelaskan, setakat ini, khusus untuk istana Gunung Sahilan baru dalam proses studi teknis. Artinya, apakah layak atau tidak untuk direnovasi. Setelah selesai barulah bisa diajukan untuk pelaskanaannya. Untuk studi teknis arkeologi sudah diajukan pada anggaran APBD 2010 yang jatuh pada tahun ini.
Dijelaskan Darliana, studi teknis itu meliputi tentang teknologi pembuatan seperti dinding kayu, apakah menggunakan pasak atau paku. Struktur bangunan seperti apa, sejarahnya bagaimana, bentuk dan bahan yang digunakan. Selain itu, juga harus dikaji tingkat kerusakannya berapa persen yang masih bisa diselamatkan dan berapa persen harus diganti karena lapuk dan sebagainya. “Studi teknis ini harus memperkuat pemugaran situs sejarah bukan malah melemahkannya. Yang diganti nantinya harus ditandai agar terlihat yang lama dan yang baru,” katanya.
Apapun alasan dan janji yang terlanjur diungkapkan baik oleh pemprov maupun pemkab, pemugaran harus segera dilaksanakan sebelum terlambat. Pasalnya, kondisi istana semakin uzur dan rapuh. Harapan masyarakat, terutama pewaris kerajaan, entah itu namanya pemugaran atau renovasi sudah cukup lama. Namun belum juga terwujud menjadi kenyataan.
Karenanya, Tengku Arifin, Tengku Rahmad Ali, Utama Warman, bahkan Nursyam yang rela menghabiskan waktu menemani Riau Pos selama di kampung itu sangat berharap mimpi mereka menjadi nyata. Bukan seperti selama ini, mereka hanya menelan ludah saat janji-janji diumbar di depan publik. Mereka mengharap bukti, bukan janji kosong melompong seperti istana saat ini.
Sumber : Riau Pos.com ( Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru fedliazis@riaupos.com )
No comments:
Post a Comment